News update:

Buramnya Potret Hukum Indonesia

Senin, 06 Februari 2012

MAMASA CYBER NEWS -  Di tengah buramnya wajah hukum di Indonesia, kita dikejutkan oleh keputusan berani  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Angelina Sondakh (Angie), Wakil Sekjen Partai Demokrat dijadikan tersangka dalam kasus korupsi wisma atlet di Palembang, Sumsel.

Mengejutkan karena Angie diduga tidak akan tersentuh hukum karena dari partai penguasa. Apalagi KPK terkesan lelet.

Nazaruddin yang kini disidang, juga dalam kasus wisma atlet, semula terkesan akan dijadikan tumbal. Tapi dia cerdik dan membongkar nama-nama yang pernah kecipratan rezeki darinya. Nama Angie juga melesat dari mulut Nazaruddin. Kalau saja KPK konsisten, sederet elite Partai Demokrat tinggal menunggu panggilan KPK.

Seperti halnya politik yang kini menjadi bahan cercaan, hukum di Indonesia juga tidak lepas dari kritik, hujatan dan cercaan. Belakangan ini intensitasnya bahkan meningkat.

Bukan karena penanganan kasus kakap seperti Nazaruddin, tapi justru oleh kasus-kasus ‘sandal jepit’, yaitu kasus kecil yang menimpa orang kecil tapi memberikan gaung yang sangat besar. Ini karena menyangkut rasa keadilan yang bagi rakyat kecil sudah makin jauh dari jangkauan.

Seorang siswa SMP di Palu, AAL, yang dituduh mencuri sandal jepit milik anggota polisi dinyatakan bersalah oleh hakim. Nenek Minah dihukum karena mencuri 3 buah kakao, pencuri semangka, pisang, sarung harus mendekam dalam penjara, adalah kasus-kasus yang meresahkan.

Yang paling baru adalah kisah nenek Rasminah yang dihukum 4 bulan 10 hari oleh Mahkamah Agung karena mencuri piring majikannya. Ini tak kalah menggegerkannya, MA dituduh tidak memiliki rasa keadilan. Pengadilan Negeri Tangerang sendiri membebaskan nenek Rasminah dari segala dakwaan.

Kisah pencuri sandal dan nenek Rasminah hampir mirip. Dalam persidangan AAL, sandal yang dijadikan barang bukti tidak sesuai dengan barang yang hilang milik anggota polisi tadi. Dalam kasus nenek Rasminah ada juga barang bukti yang tidak sesuai, tapi hakim agung menjatuhkan hukuman.

Hakim agung Artijo Alkostar yang memimpin sidang berbeda pendapat dan menyatakan nenek Rasminah tidak bersalah, tapi dua yang lain menghukum Rasminah.

Negara hukum memang tidak bisa membiarkan pencuri sekecil apapun berkeliaran. Tetapi penanganan yang tidak mendasarkan rasa keadilan justru bisa jadi bumerang. Penegakan hukum tujuannya untuk melindungi warga negara agar mendapatkan keadilan.

Ketua Mahkamah Agung Arifin H Tumpa bilang, rasa keadilan hakim itu berbeda-beda satu dan lainnya. Keputusan mereka akan dipertanggungjawabkan sampai akhirat.

Itu memang sistem hukum yang kita anut. Hakim di Indonesia  bukan corong undang-undang sehingga hati nurani sangat menentukan. Celakanya kalau perbedaan penafsiran itu sangat kontras.

Dalam kasus pembebasan tanah untuk jalan tol di Semarang, Jateng, misalnya, ada dua calo tanah yang diajukan ke pengadilan Tipikor.

Hamid, salah satu calo, dihukum 5 tahun, sedang temannya Agus Sukmaniharto yang disidang terpisah, dinyatakan bebas. Padahal keduanya beraksi bersama-sama hingga merugikan negara Rp 12 miliar.

***

Kasus yang tidak kalah menarik tapi terlepas dari perhatian publik adalah dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) 24 mantan anggota DPRD Mamasa oleh MA. Sebelumnya, oleh MA juga, masing-masing dihukum 1 tahun 8 bulan karena terbukti korupsi dana APBD.

Sesuai ketentuan, selama mengajukan PK yang bersangkutan harus menjalani hukumannya. Tapi dari 24 orang di atas hanya 12 yang patuh, selebihnya kabur dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) termasuk Obednego Depparinding yang juga mantan Bupati Mamasa.

PK memang sebuah upaya hukum. Tapi apakah PK tidak mempertimbangkan perilaku para terhukum yang memilih kabur dari pada menjalani hukuman. Dalam putusan pengadilan perilaku bisa menjadi faktor yang meringankan atau memberatkan.

Apakah mereka yang kabur dengan melecehkan hukum layak diberi pengampunan? Terkesan KPK malah jadi tempat berlindung bagi para penjahat.

Hukum kita memang masih berwajah buram. Bisa saja hakim punya penafsiran berbeda. Tapi kalau perbedaannya menyolok seperti kasus Pengadilan Tipikor Semarang, tentu menimbulkan kecurigaan.

Semoga kasus-kasus besar yang kini ditangani KPK tidak bernasib seperti itu. Dituntutnya hakim Syarifudin (dalam kasus kepailitan) dengan hukuman 20 tahun, oleh jaksa Tipikor, memberikan nafas lega.

Hukum yang tidak memberikan keadilan bisa menimbulkan kekecewaan. Misalnya, demi hukum seorang penjahat besar bisa bebas karena tidak ada bukti. Bisa juga hakim memutuskan perkaranya masuk ranah perdata.

Secara hukum mungkin sah dan banyak para koruptor yang bebas karena alasan-alasan (yang dicari-cari) tadi. Tapi kalau dari tinjauan kriminologi --meminjam istilah Prof JE Sahetapy-- mereka itu tetap saja bajingan.

Share this Article on :
 

© Copyright Berita Mamasa 2011 | Design by Mamasa Cyber News | Published by Mamasa Cyber News 2012 | Powered by MCN 2012.